
Tradisi makan bersama dalam budaya Bugis
Masyarakat Bugis dikenal dengan kekayaan budaya yang sangat menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan kekeluargaan. Salah satu wujud nyata dari nilai tersebut adalah tradisi makan bersama, yang tidak hanya berfungsi sebagai kegiatan konsumsi makanan, tetapi juga sebagai sarana mempererat hubungan sosial dan memperkuat struktur komunitas. Dalam budaya Bugis, makan bersama bukan hanya soal duduk dan menyantap makanan—ia adalah bentuk penghormatan, solidaritas, dan ekspresi dari nilai luhur. Berikut artikel ini akan membahas Tradisi makan bersama dalam budaya Bugis.
Makna Sosial di Balik Makan Bersama
Dalam tradisi Bugis, makan bersama dikenal dengan istilah mappalette bola atau massulapa. Biasanya, tradisi ini dilakukan dalam berbagai momen penting seperti acara pernikahan, kelahiran, panen, pembangunan rumah baru, hingga upacara adat lainnya. Makan bersama dalam konteks ini melibatkan keluarga besar, tetangga, dan tamu yang hadir sebagai bentuk kebersamaan dan penghormatan terhadap tamu.
Makanan disajikan secara lesehan di atas tikar atau daun pisang panjang yang dibentangkan, lalu disantap secara bersama-sama. Tidak ada pembedaan kelas atau status saat makan; semua orang duduk sejajar, berbagi lauk, dan menyantap nasi dari tempat yang sama. Ini mencerminkan prinsip egaliter yang dijunjung masyarakat Bugis, bahwa dalam kebersamaan semua adalah saudara.
Hidangan Khas yang Disajikan
Menu yang disajikan saat makan bersama biasanya adalah makanan khas Bugis yang kaya rasa dan sarat filosofi. Beberapa hidangan yang umum disajikan antara lain:
-
Nasu likku (ayam bumbu lengkuas)
-
Pallu basa (semacam sup daging dengan bumbu khas)
-
Burasa (nasi santan yang dibungkus daun pisang)
-
Ikan bakar atau ikan masak pallu mara
-
Sayur bening atau sayur daun kelor
Burasa sering menjadi pengganti nasi putih karena dianggap lebih istimewa, terutama saat perayaan besar. Semua makanan dimasak secara gotong-royong oleh para ibu dan perempuan di lingkungan sekitar, yang mempererat hubungan antarwarga.
Etika dalam Tradisi Makan
Tradisi makan bersama dalam budaya Bugis juga memiliki aturan dan etika tersendiri. Sebelum makan dimulai, biasanya dipimpin doa bersama untuk memohon berkah atas makanan yang disajikan. Tuan rumah atau pemilik hajat akan memastikan semua tamu mendapatkan porsi yang cukup sebelum mereka sendiri mulai makan. Ini menunjukkan rasa hormat dan kerendahan hati.
Saat makan, orang Bugis dianjurkan untuk tidak bersuara keras, tidak menunjukkan rasa tamak, dan tidak meninggalkan sisa makanan. Nilai-nilai ini diajarkan sejak kecil sebagai bagian dari pembentukan karakter, serta menjaga keharmonisan dalam acara kebersamaan.
Peran Tradisi dalam Pelestarian Budaya
Di tengah arus modernisasi, tradisi makan bersama tetap dijaga oleh masyarakat Bugis, terutama di daerah pedesaan. Meski kini ada perubahan dalam bentuk penyajian—misalnya penggunaan piring terpisah atau tidak lagi makan dari satu wadah besar—semangat kebersamaannya tetap dipertahankan.
Di kota-kota besar seperti Makassar, tradisi ini masih bisa dijumpai dalam bentuk acara keluarga besar atau kegiatan komunitas Bugis. Bahkan, sebagian diaspora Bugis yang tinggal di luar Sulawesi pun tetap mempertahankan tradisi ini sebagai bagian dari identitas budaya mereka.
Penutup
Tradisi makan bersama dalam budaya Bugis lebih dari sekadar aktivitas mengisi perut. Ia mencerminkan nilai kekeluargaan, kesederhanaan, dan penghormatan terhadap sesama. Melalui sajian yang khas dan ritual yang sarat makna, tradisi ini menjadi pengingat bahwa makanan adalah medium untuk menyatukan hati dan mempererat ikatan sosial. Di balik satu meja dan satu alas makan, tersimpan filosofi hidup yang patut dijaga dan diwariskan.